aplikasi dan jurnal pilihan google

Wednesday, September 26, 2007

acute renal failure

. INTRODUCTION 1

Acute renal failure (ARF) merupakan suatu syndrome klinik yang ditandai dengan adanya gangguan fungsi ginjal secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (ureum-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri. Tergantung dari keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbangan cairan serta dampak terhadap berbagai organ tubuh lainnya.

Mortalitas penderita ARF masih cukup tinggi, 40 – 50 % pada ARF oliguri dan 15 – 20 % pada ARF non-oliguri. Sampai saat ini pengobatan ARF terbatas pada tindakan-tindakan suportif dan usaha-usaha preventif serta dialisis bila ada indikasi.

Insiden ARF di populasi umum kurang dari 1 %, 5 – 7 % pada penderita yang dirawat di rumah sakit dan 20 – 25 % dari penderita di ruang perawatan intensif.

Secara garis besar, ARF dibagi atas ARF pre-renal yang diakibatkan oleh hipoperfusi ginjal, ARF renal (intrinsik) yang terjadi sebagai akibat dari gangguan pada struktur dari nefron (glomeruli, tubuli, pembuluh darah, dan interstitium), serta ARF post-renal yang terjadi sebagai akibat dari obstruksi saluran kemih, baik obstruksi intra-renal maupun ekstra-renal, mulai dari pelvis renalis hinARF uretra.

II. CLASSIFICATION

Untuk tujuan diagnosis dan penanganan, ARF dibagi dalam 3 kategori :2

  1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi renal tanpa melibatkan integritas parenkim ginjal (ARF pre-renal, azotemia pre-renal)
  2. Penyakit yang secara langsung mempengaruhi parenkim ginjal (ARF renal, azotemia renal)
  3. Penyakit yang berhubungan dengan obstruksi traktus urinarius (ARF post-renal, azotemia)

Secara laboratorik diagnosis ARF dapat ditegakkan apabila terjadi peningkatan secara mendadak kreatinin serum 0,5 mg% pada penderita dengan kadar kreatinin awal <2,5> 20 % bila kreatinin awal > 2,5 mg%. The Acute Dialysis Quality Initiative group membuat RIFLE system yang mengklasifikasikan ARF kedalam tiga kategori menurut beratnya (Risk, Injury dan Failure) serta dua kategori akibat klinik (Loss dan End-stage renal disease).1

Tabel : 1. Klasifikasi ARF menurut The Acute Dialysis Quality Initiative group1

Kriteria Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Kriteria jumlah urine

Risk

Peningkatan serum kreatinin 1,5 kali

<>

Injury

Peningkatan serum kreatinin 2 kali

<>

Failure

Peningkatan serum kreatinin 3 kali atau kreatinin 355 µmol/l

<>

Loss

Gagal ginjal akut persisten; kerusakan total fungsi ginjal selama lebih dari 4 minggu

ESRD

Gagal ginjal terminal lebih dari 3 bulan

Berdasarkan derajat beratnya penyakit yang timbul, ARF diklasifikasikan menjadi3 :

  1. ARF simpel / tanpa komplikasi (uncomplicated ARF)

Tidak dijumpai adanya penyakit penyerta dan juga tidak terdapat komplikasi.

  1. ARF berat (complicated ARF)

Umumnya dirawat di unit perawatan intensif karena mengalami penyulit seperti sepsis, perdarahan, penurunan kesadaran, dan gagal nafas. Angka kematian sangat tinggi, mencapai 50 – 80 %.

III. PATOGENESIS

ARF Pre-Renal

Istilah pre-renal ditandai dengan tidak adekuatnya perfusi ginjal yang disebabkan oleh penurunan volume intravaskular atau karena sirkulasi arteri yang tidak efektif. Penyebab paling sering dari gagal ginjal bentuk ini adalah dehidrasi karena kehilangan cairan pada ginjal ataupun di luar ginjal seperti karena diare, muntah, penggunaan diuretik, dll. Penyebab yang jarang seperti syok septik, penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan, yang menyebabkan pengurangan relatif atau absolut volume cairan intravaskular. Gagal jantung dengan penurunan cardiac output juga dapat mengurangi efektifitas aliran darah ginjal.4

Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang akut juga dapat dijumpai pada pasien dengan sirrosis (sindrom hepatorenal) atau pasien yang menggunakan Cyclosporine, Tacrolimus, NSAID, atau ACE (Angiotensin Converting Enzime) Inhibitor. Kondisi ini mengubah fungsi hemodinamik ginjal secara signifikan, hal ini diperantarai oleh prostaglandin dan renin-angiotensin seperti penurunan tekanan kapiler glomerulus secara tiba-tiba.4

Pada ARF pre-renal aliran darah ginjal walaupun berkurang masih dapat memberikan oksigen dan substrat metabolik yang cukup kepada sel-sel tubulus. Apabila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan mengakibatkan terjadinya iskemia sel-sel tubulus yang berlanjut menjadi Nekrosis Tubular Akut (NTA). ARF pre-renal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik/morfologik pada nefron.5

ARF Renal

ARF renal merupakan 50 % dari keseluruhan ARF. Bilamana hipoperfusi ginjal berlangsung lama dan bertambah berat sehingga terjadi kematian sel, maka akan terjadi NTA. Selain oleh karena hipoperfusi ginjal (50 % dari kasus NTA), NTA juga disebabkan oleh paparan bahan/obat yang nefrotoksik (35 % dari kasus NTA). Penyebab lain ARF renal adalah penyakit glomerulus primer dan penyakit tubulointerstisial. Walaupun istilah ARF dan NTA tidak identik, namun demikian penggunaan kedua istilah ini sering dianARFp sebagai keadaan yang sama.1

Banyak penyebab ARF renal yang disebabkan langsung atau dieksaserbasi oleh berkurangnya aliran darah ginjal ke seluruh bagian atau sebagian ginjal. Penyebab kerusakan iskemik ini disebabkan keadaan pre-renal yang tidak teratasi. ARF iskemik dibedakan dari ARF pre-renal pada hipoperfusi yang menginduksi lesi iskemik pada sel-sel parenkim ginjal, khususnya epitel tubulus, dan pemulihan memakan waktu 1-2 minggu setelah normalisasi perfusi ginjal sebagai syarat perbaikan dan regenerasi sel-sel ginjal. Dalam bentuk paling ekstrem, iskemik mengarah pada nekrosis kortex ginjal bilateral dan gagal ginjal irreversibel. ARF iskemik paling sering terjadi pada pasien dalam masa pembedahan kardiovaskular atau mengalami trauma yang berat, perdarahan, sepsis dan atau pengurangan volume darah. ARF iskemik bisa merupakan bentuk penyulit yang ringan dari hipovolemia yang nyata atau pengurangan “efektifitas” volume darah arteri apabila hal itu terjadi akibat adanya sesuatu yang lain (seperti nefrotoxin atau sepsis).2,5

Istilah nekrosis tubular akut sebetulnya tidak begitu tepat oleh karena ada beberapa hal yang ditemukan. Kebanyakan pasien dengan NTA tidak dibiopsi, dan diagnosis ditegakkan atas dasar gejala dan perjalanan klinis saja. Pada pemeriksaan mikroskopik pasien yang dibiopsi dengan klinis NTA ini amat jarang dijumpai gambaran nekrosis tubulus yang jelas. Walaupun biopsi ginjal dilakukan pada saat yang relatif terlambat, tetapi adanya defisit fungsional tetap tak dapat dijelaskan oleh nekrosis yang ekstensif. Pada NTA ini ternyata didapatkan kontribusi perubahan sel yang subletal seperti kehilangan membran plasma, polaritas membran dan terlepasnya sel dari membran basalis sehingga menyebabkan perubahan-perubahan fungsional. Terbatasnya kerusakan pada tubulus dan adanya kemampuan regenerasi sel tubulus yang cepat menyebabkan kelainan ini reversibel. Oleh karena itu untuk keadaan ini cukup banyak istilah yang berusaha lebih tepat menjelaskan sindrom ini, antara lain hemodynamically mediated acute renal failure.5

ARF Post-Renal 2

Obstruksi traktus urinarius dapat terjadi kurang dari 5 % dari kasus ARF. Karena satu ginjal punya kapasitas pembersihan yang efektif untuk mengekskresikan sisa metabolisme nitrogen setiap hari, ARF dari akibat obstruksi dapat terjadi karena obstruksi pada aliran urine diantara meatus urethra eksterna dan meatus urethra interna, obstruksi ureter bilateral atau obstruksi ureter unilateral pada pasien dengan fungsi ginjal atau insufisiensi ginjal kronik. Obstruksi leher kandung kemih merupakan penyebab paling sering ARF post-renal dan biasanya karena penyakit prostat (hipertrofi, hiperflasi dan infeksi), neurogenik bladder, atau therapy dengan obat anti kolinergik. Penyebab yang jarang dari obstruksi akut traktus urinarius antara lain bekuan darah, kalkulus, dan uretritis dengan spasme.

Penyebab obstruksi bilateral adalah :

  1. Pengaruh neoplasma peritoneal atau retroperitoneal, dengan massa atau nodus.
  2. Fibrosis retroperitoneal
  3. Penyakit kalkulus
  4. Post operasi atau trauma

Pada pasien yang hanya mempunyai satu ginjal, batu ureter dapat menyebabkan obstruksi total traktus urinarius dan ARF.

IV. DIAGNOSIS

history 6

Karena ARF mempunyai diagnosa banding yang banyak, didapatkan riwayat yang terarah dari patofisiologi ARF :

ARF Pre-Renal :

  • Pasien sering kali memperlihatkan gejala-gejala yang berhubungan dengan hipovolemia, termasuk haus, penurunan jumlah urine, pusing-pusing, hipotensi ortostatik.
  • Adanya riwayat kehilangan cairan yang masif karena perdarahan, kehilangan cairan melalui gastrointestinal, keringat ataupun ginjal.
  • Pada pasien gagal jantung tahap lanjut dengan penurunan perfusi ginjal, kemungkinan datang dengan orthopnue dan paroxysmal nocturnal dyspnue.
  • Hilangnya cairan yang tidak terasa pada pasien-pasien dengan gangguan kesadaran dapat menyebabkan hipovolemia yang berat.

ARF Renal

  • Pasien dapat dibedakan berdasarkan penyebab ARF, dari glomerulus atau tubulus.
  • Penyakit pada glomerulus : perdarahan pada sindrom nefritik, edema, dan hipertensi.
  • Penyakit pada tubulus : harus dapat dipikirkan kemungkinan timbulnya NTA pada pasien setelah periode hipotensi sekunder karena henti jantung, perdarahan, sepsis, over dosis obat, atau pembedahan.
  • Dapat diperhitungkan pula dugaan adanya paparan dari nefrotoxin dan juga dari pemeriksaan radiologis (seperti paparan zat kontras).
  • Dugaan adanya pigmen yang diinduksi oleh ARF pada pasien-pasien dengan rhabdomyolisis atau hemolisis

ARF Post-Renal

  • ARF post-renal biasanya tejadi pada laki-laki usia lanjut dengan obstruksi prostat dan adanya gejala-gejala berupa urgensi, frekuensi, dan hesitansi. Pasien dapat asimptomatis karena kronisitas gejala yang mereka alami.
  • Riwayat operasi gynecologi atau keganasan sering dapat membantu dalam menentukan tingkat obstruksi.
  • Bila terdapat nyeri pinARFng dan hematuria maka harus dipikirkan adanya pengapuran ginjal sebagai sumber obstruksi urine.
  • Kemungkinan adanya obstruksi tubular oleh karena kristal dari obat-obatan pada pasien yang menggunakan asiklovir, metotrexat, triamteren, indinavir, atau sulfonamid.

Physical examination 7

Pemeriksaan fisik bermanfaat dalam mengumpulkan bukti-bukti tentang penyebab ARF. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan pada pemeriksaan fisik pasien ARF diantaranya :

Kulit :

  • Pemeriksaan kulit untuk petechiae, purpura dan ekimosis dapat menARFmbarkan suatu inflamasi dan penyebab vaskular ARF.
  • Penyakit infeksi, trombotik trombositopenia, disseminated intravascular coagulation (DIC), dan fenomena emboli dapat menARFmbarkan adanya perubahan kulit yang khas.

Mata :

  • Adanya uveitis mengindikasikan nefritis interstisial dan nekrosis vaskulitis.
  • Ocular palsy mengindikasikan adanya keracunan etilen glikol atau nekrosis vaskuler.
  • Adanya hipertensi berat, penyakit atheroemboli, dan endokarditis dapat diketahui setelah pemeriksaan mata dengan seksama.

Sistem Kardiovaskular :

  • Pemeriksaan fisik harus mencakup denyut nadi dan tekanan darah baik posisi terlentang maupun berdiri; denyut vena jugularis; pemeriksaan jantung, paru, dan turgor kulit; dan penafsiran terhadap adanya edema perifer.
  • Pencatatan yang akurat setiap hari akan intake cairan dan output urine, dan berat badan pasien adalah penting.
  • Pemeriksaan tekanan darah bermanfaat untuk kepentingan diagnostik.
  • Hipovolemia dapat mengindikasikan adanya hipotensi tetapi hipotensi tidak mengindikasikan adanya hipovolemia.
  • Congestive Heart Failure (CHF) yang berat dapat menyebabkan hipotensi. Pada pasien CHF dengan tekanan darah yang rendah, pengisian volume dan efektifitas perfusi ginjal rendah.
  • Hipertensi berat dengan gagal ginjal merupakan dugaan adanya penyakit renovaskuler, glomerulonefritis, vaskulitis atau penyakit atheroemboli.

Abdomen :

  • Pemeriksaan fisik abdomen dapat bermanfaat dalam mendeteksi adanya obstruksi pada leher buli-buli sebagai penyebab gagal ginjal, mungkin suatu kanker atau pembesaran prostat.

Lab study

Analysis Urin2,5

Pemeriksaan urin atau urinalisis dalam hal ini merupakan pemeriksaan yang penting, akan tetapi harus dinilai sebagai satu kesatuan dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Berat jenis (BJ) urin yang tinggi lebih dari 1,020 menunjukkan pre-renal, glomerulo nefritis (GN) akut awal, sindrom hepatorenal, dan keadaan lain yang menurunkan perfusi ginjal. Berat jenis isosmal (1,010) terdapat pada NTA, post-renal dan penyakit interstisial (tubulointerstisial). Pada keadaan ini BJ urin dapat meningkat kalau dalam urin terdapat banyak protein, glucose, manitol, atau kontras radiologik. Adanya glucose pada urin (tes reduksi +) tanpa peningkatan gula darah menunjukkan kerusakan tubulus proksimal.

Protein dalam urin biasanya amat meningkat pada penyakit glomerular, sedangkan pada penyakit lain sampai + 1 saja. Pada hipertensi maligna dan gagal jantung kongestif pada awalnya didapatkan protein yang banyak dalam urin. Perlu diingat pula bahwa pada pemeriksaan dengan tes celup (dipstick) protein mieloma tidak terdeteksi.

Adanya sedimen eritrosit menunjukkan glomerulonefritis, atau vaskulitis pada glomerulus. Pada kelainan interstisial atau NTA dapat diketemukan silinder eritrosit. Apabila dengan tes celup terdapat darah, akan tetapi sel darah merah tidak ada atau sedikit perlu difikirkan hemoglobinuria atau mioglobulinemia. Gambaran yang khas pada NTA adalah urin yang berwarna kecoklatan dengan silinder yang besar (coarse granular broad casts). Silinder leukosit menunjukkan adanya infeksi, inflamasi pada interstisial. Apabila ditemukan eosinofil dalam urin maka dapat menunjukkan adanya nefritis interstisial alergi.

Adanya kristal urat pada ARF menunjukkan adanya nefropati asam urat yang sering didapat pada sindrom lisis tumor setelah pengobatan leukemia, limfoma. Kristal oksalat terlihat pada ARF akibat etilen glikol yang umumnya diakibatkan percobaan bunuh diri.

Tabel 2. Diagnosa Urin yang menunjukkan perbedaan antara Pre-renal dan Renal

Indeks Diagnosis

Hal-hal yang sering ditemukan pada ARF

Prarenal

Renal

Fraksi ekskresi Natrium (%)

UNa × PCr × 100

PNa × UCr

<>

> 1

Kadar Natrium Urin (mmol/L)

<>

> 20

Kreatinin Urin : Kreatinin Plasma

> 40

<>

Ureum Nitrogen Urin : Ureum Nitrogen Plasma

> 8

<>

Berat Jenis Urin

> 1,020

~ 1,010

Osmolaritas Urin (mosmol/kg H2O)

> 500

~ 300

Plasma BUN : Kreatinin

> 20

<>

Indeks Gagal Ginjal

UNa

UCr / PCr

<>

> 1

Sedimen Urin

Hyalin

Muddy

Darah 7

  • Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Kreatinin Serum

Ø Meski peningkatan kadar BUN dan kreatinin adalah tanda gagal ginjal, kecepatan peningkatan BUN dan kreatinin juga sangat penting.

Ø Hasil pemeriksaan BUN menunjukkan peningkatan yang tidak proporsional dari kreatinin yang mengarah pada dugaan ARF iskemik. Umumnya serum kreatinin meningkat 1–2 mg/dL, namun laju peningkatan yang > 5 mg/dL juga bisa ditemukan pada pasien dengan rhabdomyolisis karena otot merupakan sumber kreatinin yang utama yang menjadi prekursor kreatinin.

Ø Rasio perbandingan BUN dengan kreatinin juga merupakan hasil yang sangat penting karena ratio bisa > 20 : 1 pada kondisi dimana peningkatan reabsorbsi urea terjadi. Pada kondisi seperti perdarahan gastrointestinal bagian atas dan pada beberapa kasus uropati obstruktif, hasilnya mungkin menunjukkan peningkatan rasio yang lebih jauh. Kondisi lainnya yang menyebabkan peningkatan rasio BUN dan kreatinin > 20 : 1 adalah peningkatan intake protein enteral atau parenteral, penggunaan kortikosteroid, dan keadaan hiperkatabolisme.

  • Hitung Darah Lengkap dan Apusan Darah Tepi

Ø Pemeriksaan ini dapat bermanfaat,dan hasil apusan darah tepi dapat menunjukkan skistosit pada kondisi seperti sindrom uremik hemolitik atau trombotik trombositopenic purpura.

Ø Temuan yang menunjukkan formasi rouleaux mengarah pada Multipel Mieloma, dan pemeriksaan selanjutnya sebaiknya diarahkan pada serum protein elektroforesis dan urin.

Ø Keberadaan skistosit myoglobin, atau hemoglobin, meningkatkan kadar asam urat serum, dan temuan lain yang berhubungan mungkin dapat membantu lebih jauh untuk menentukan etiologi ARF.

Ø Temuan dari tes serologi ANCA menunjukkan penyakit ginjal intrinsik akibat vaskulitis.

Pemeriksaan Pencitraan5

Pemeriksaan penunjang ini amat diperlukan untuk melihat anatomi ginjal. Pada ARF pemeriksaan USG menjadi pilihan utama untuk memperlihatkan anatomi ginjal, dapat diperoleh informasi mengenai besar ginjal, ada atau tidaknya batu ginjal dan ada atau tidaknya hidronefrosis. Dalam hal ini pemeriksaan USG cukup sensitif, cepat dan mudah dilakukan. Pemeriksaan foto polos dapat dilakukan akan tetapi informasi yang didapat tidak sebaik USG. Apabila pada USG jelas terdapat hidronefrosis dengan gambaran korteks ginjal yang masih baik, segera dikonsulkan ke urologi untuk sistoskopi, atau pielografi retrograde. Tindakan urologi diperlukan segera untuk mengatasi obstruksi agar tidak terjadi kerusakan ginjal yang permanen. Pemeriksaan USG dapat juga menentukan apakah gangguan fungsi ginjal ini sudah lama terjadi (GGK), yaitu apabila ditemukan gambaran ginjal yang sudah kecil. Tahanan euvolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik seperti hiperglikemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.

Pemeriksaan Biopsi Ginjal dan Serologi

Walaupun ARF bukan indikasi untuk melakukan biopsi ginjal, tetapi apabila diduga bahwa penyebab ARF adalah kelainan ginjal intrinsik, juga tidak ada kelainan lain seperti dari bedah atau kebidanan sebagai penyebab perlu dipertimbangkan biopsi ginjal. Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab ARF tidak jelas atau berlangsung lama, atau terdapat tanda glomerulonefritis atau nefritis interstisial. Pemeriksaan ini perlu ditunjang oleh pemeriksaan serologi imunologi ginjal.

V. MANAGEMENT OF ACUTE RENAL FAILURE

Tujuan pengelolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan homeostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta mempertahankan penderita tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasikan pasien yang beresiko ARF (sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab ARF, mempertahankan homeostasis, mempertahankan euvolemia, keseimbangan cairan elektrolit, mencegah komplikasi metabolik seperti hiperglikemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.

Pengelolaan Medis ARF

Kebanyakan pasien ARF berada dalam keadaan sakit berat dan prioritas utamanya adalah mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, baik masalah ini berkaitan atau tidak ada hubungannya dengan ginjal. Penanganan pasien harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya ginjalnya saja, oleh karena itu pada umumnya pasien ARF memerlukan penanganan yang multidisiplin. Pada ARF terdapat dua masalah yang sering didapatkan yang mengancam jiwa yaitu edema paru dan hiperkalemia.

Lung Edema

Keadaan ini terjadi akibat ginjal tidak dapat mengekskresi urin, garam dalam jumlah yang cukup. Keadaan ini dapat iatrogenik setelah pasien sakit berat masuk ke bagian gawat darurat dan mendapat infus yang cukup banyak tanpa mengawasi produksi urin dan memeriksa kadar ureum kreatininnya. Posisi pasien setengah duduk agar cairan dalam paru dapat didistribusi ke vaskular sistemik, dipasang oksigen, dan diberikan diuretik kuat (furosemid inj.) walaupun pada ARF sering tidak memberikan respons. Morfin dosis kecil dapat menolong keadaan ini dengan cara vasodilatasi dan anti kecemasan. Pengobatan definitif adalah dengan mengeluarkan cairan melalui hemodialisis segera atau hemofiltrasi.

Hypercalemic

Pada ARF keadaan ini amat berbahaya oleh karena dapat mengakibatkan henti jantung (cardiac arrest) tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Kalium lebih dari 5,5 mEq/L sudah menunjukkan kelainan pada ECG seperti perubahan gelombang T dan pemendekan interval QT.

Mula-mula diberikan kalsium intravena (Ca Glukonat) 10 % sebanyak 10 ml yang dapat diulangi sampai terjadi perubahan gelombang T. Belum jelas cara kerjanya. Kadar kalium tidak berubah, kerja obat ini pada jantung berfungsi untuk menstabilkan membran. Pengaruh obat ini hanya sekitar 20 – 60 menit.

Pemberian infus glucose dan insulin (50 ml glucose 50 % dengan 10 U insulin kerja cepat)selama 15 menit dapat menurunkan kalium 1 – 2 mEq/L dalam waktu 30 – 60 menit. Insulin bekerja dengan menstimulasi pompa N-K-ATPase pada otot skelet dan jantung, hati dan lemak, memasukkan kalium ke dalam sel. Glucose ditambahkan guna mencegah hipoglikemia.

Obat golongan agonis beta seperti salbutamol intravena (0,5 mg dalam 15 menit) atau inhalasi nebuliser (10 atau 20 mg) dapat menurunkan 1 mEq/L. Obat ini bekerja mengaktivasi pompa Na-K ATPase. Pemberian natrium bikarbonat walaupun dapat menurunkan kalium tidak begitu dianjurkan oleh karena penambahan jumlah natrium, dapat menimbulkan iritasi, menurunkan kadar kalsium sehingga dapat memicu kejang. Tetapi bermanfaat apabila ada asidosis atau hipotensi.

Pemberian Diuretik

Pada ARF sering diberikan diuretik loop yang sering bermanfaat pada keadaan tertentu. Pemberian diuretik furosemid mencegah reabsorbsi Na sehingga mengurangi metabolisme sel tubulus, selain itu juga diharapkan aliran urin dapat membersihkan endapan, silinder sehingga menghilangkan obstruksi, selain itu furosemid dapat mengurangi oliguria.

Dosis yang diberikan amat bervariasi dari mulai dengan dosis konvensional 40 mg intravena, kemudian apabila tidak ada respon dinaikkan bertahap dengan dosis tinggi 200 mg setiap 6 jam, selanjutnya infus 10 – 40 mg/jam. Pada tahap lebih lanjut apabila belum ada respon dapat diberikan furosemid dengan albumin yang diberikan secara intravena selama 30 menit dengan dosis yang sama atau bersama dengan Hidrochlorotiazid (HCT). Dialisis atau hemofiltrasi dilakukan apabila semua tindakan diatas gagal untuk mengeluarkan cairan.

Nutrition

Kebutuhan nutrisi pada ARF amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa sampai dengan kebutuhan yang tinggi seperti pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi nutrisi ARF amat berbeda dengan GGK dimana pada ARF kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasan-pembatasan.

Dialysis atau Pengobatan Pengganti Ginjal

Indikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindrom uremia dan terdapatnya kegawatan yang mengancam jiwa yaitu hipervolemia (edema paru), hiperkalemia, atau asidosis berat yang resisten terhadap pengobatan konservatif. Apabila terdapat kenaikan terus ureum dan kreatinin darah pada pasien oliguria dan dengan pengobatan konservatif tidak ada tanda-tanda perbaikan (produksi urin bertambah, ureum dan kreatinin tetap atau menurun), maka sudah saatnya dipertimbangkan untuk didialisis.

Pada pasien dengan sakit berat, dengan gangguan hemodinamik, yang sering memerlukan cairan agar kebutuhan energi dapat terpenuhi diperlukan pengeluaran cairan yang banyak tetapi secara lambat.

VI. COMPLICATION1

Ada beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari ARF antara lain :

  • Peningkatan volume cairan ekstraseluler
  • Increase potassium serum level
  • Asidosis metabolic
  • Hyperphosphatemia
  • Hypocalsemia
  • Anemia
  • systemic infection
  • congestive heart failure
  • myocard Infark
  • cardiac arrest
  • gastrointestinal tract bleeding
  • Perubahan siklus tidur
  • Somnolen
  • seizure
  • memory loss

VII. PROGNOSIS6

· Tingkat kematian ARF sekitar 50 % walaupun diberikan dengan terapi Pengganti ginjal yang efektif.

Ø Kematian karena ARF sangat berhubungan langsung dengan proses perjalanan penyakit penderita itu sendiri (sepsis, CHF).

Ø Angka kematian pada penderita yang berusia diatas 80 tahun diperkirakan berkisar 40 %, sama seperti pada penderita di usia yang lebih muda. Umur tidak merupakan faktor penentu dalam terapi Pengganti ginjal.

· Sekitar 20 – 60 % pada penderita yang mengalami ARF perlu dilakukan hemodialisa selama mereka dirawat di rumah sakit. Pada umumnya penderita sembuh, hanya 25 % yang memerlukan terapi Pengganti ginjal jangka panjang.

refferences

  1. Bakri, Syakib. Patogenesis Gagal Ginjal Akut. Edisi I. Cetakan I. PERNEFRI. Jakarta. 2005.
  2. Harison. Internal Medicine. Edition 16. Mc Graw Hill Company. New York. 2005.
  3. Suharyono, dkk. Terapi Cairan pada Gagal Ginjal Akut. Editor : Sudoyo W, Aru. Cetakan I. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 1999.
  4. Aninch, JW. Smith General Urology. Editor : Tanagho, EA. Mc Graw Hill Company. New York. 2000.
  5. Suhardjono. Suhakatya, Made. Parsoedi, Imam. Gagal Ginjal Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2000.

A Therapeutic Option in the Treatment of Pre-DM and T2DM

SUMMARY

Minimally there are 30 hormones and biological substances secreted by Fat Cell can be summarized (Leptin, TNFa, IL-6, Resistin, Adiponectin = ACRP-30, HSL, Lipotransin, Perilipins, Aquaporin, etc).

The relationship between Insulin Resistance (IR) and Adipose Tissue is exceedingly complex, and IR can be detected either in both Non-Diabetic Individuals, Pre-Diabetes (Pre-DM), or in patients with Type 2 DM (T2DM). Based on the staging of IR (Author’s Classification 1997), we will be faced with 3 groups of individuals, such as: Insulin Resistant-Normoinsulinemic (Stage-I, IIIA, IIIB), Insulin Resistant-Hyperinsulinemic (IIA, IIB, IIC), and Insulin Resistant-Hypoinsulinemic Individuals (Stage-IVA, IVB); of these all will be described in this paper. Accoridng to this classification, Pre-DM may be classified as Stage-I or Stage-IIA.

Such a Classification can be described more detail as follows: Stage-I (Obese People or Pre-DM or Normoinsulinemia), Stage-IIA (Non-DM or Pre-DM: Hyperinsulinemia), Stage-IIB (IGT with Hyperinsulinemia), Stage-IIC (T2DM with Hyperinsulinemia), Stage-III-A (DM with Normoinsulinemia), Stage-IIIB (T2DM or DM-Type X-1 with moderately impaired β cell-function with Low-Normoinsulinemia), Stage-IVA (T2DM with severe impaired β cell-function: DM-Type X-2) and Stage-IVB (T2DM with very severely impaired β cell-function with subnormal plasma insulin levels: totally insulin dependent T2DM = DM-Type-X3 = LADA: Latent Autoimmmune Diabetes in Adults). Fasting and Post Prandial C-peptide levels of these patients are less than 0.5 μU/ml.

Marked impairments in insulin’s intracellular Signaling Cascade (± 30%) are present in Fat Cells of T2DM, including impaired IRS-1 Gene and Glut-4 expression, impaired insulin-stimulated PI3-Kinase and PKB/Akt activities. It is proposed that IR and/or its effectors are initiated in Fat Cells and this way secondarily encompasses other target tissues for Insulin, including impaired GLUT expression in the muscles.

Insulin Receptor Substrate-2 (IRS-2) is the main docking protein for PI3-kinase activation in Fat Cells in case IRS –1 is markedly reduced, such as in T2DM. The downstream signaling events for insulin are also similarly impaired.

The adipose tissue not only produces peptides which can elicit IR (TNFa, IL-6, or Resistin, etc) but also hormone which can improve insulin sensitivity such as Adiponectin. The circulating levels of Adiponectin are positively correlated to insulin sensitivity and negatively to BMI. Thus, it is most likely that the balance of the production of hormones from Adipose Tissue that accentuate (f.e. TNFa, IL-6, Resistin) or alleviate (Adiponectin) IR, as well as eliciting other effects, is due to several factors including Adipose Mass, Nutritional State, and Genetic background.

Overstimulation of the b-Cells of pancreas due to IR (Stage-I or II, or Obesity, or Pre-DM) may cause an impaired insulin secretion. Taken together, impaired b-Cell function and IR are both responsible for the occurrence of T2DM, or may be DM-Type X-3 or LADA which are totally insulin dependent.

Metformin with its 21 (9-3-9 effects) pleiotropic effects (metabolic and vasoprotective effects) is postulated to improve the receptor (IRTK) and post receptor defects of patients with Obesity, Pre-DM, or T2DM. Recent study reported that Thiazolidinediones (TZDS) increased the expression of IRS-2 in diabetic patients having low IRS-1.

Conclusions: There is link between Insulin Resistance-Obesity-Pre-DM-and T2DM, and usually such an IR is initiated in Fat Cell. Probably, the balance between TNFα, IL-6, Leptin, and Resistin in one side, with Adiponectine in the other side in Obesity, Pre-DM or patients with Stage-I or II plays a pivotal role in the development of T2DM. Hence, Metformin alone or in combination with TZDS can be recommended as promising drugs for those patients. In addition, Metformin with its 21 pleiotropic effects (9-3-9), may have potential therapeutic benefits in the prevention of diabetic vascular complications as long as normal liver and renal functions of the patients are normal.

INTRODUCTION

Excess of visceral adipose tissue accumulation in the presence or absence of obesity, is associated with insulin resistance, hyperinsulinemia, glucose intolerance. These metabolic abnormalities are being predictive of an increased risk of T2DM.

Furthermore, it was reported that excess visceral adipose tissue accumulation was associated with a potentially atherogenic dyslipidemia which includes hypertryglyceridemia, elevated apo-B levels, an increased proportion of small, dense LDL particles, and low HDL concentrations. Then, evidence has accumulated that Insulin Resistance-Dyslipidemic Syndrome (IR-DS) of visceral obesity is also associated with alterations in haemostatic variables which contribute to increase the risk of atherothrombotic events in these patients (Reaven 2001).

In obesity, the enlarged fat cells oversecrete TNFa and Leptin in local circulation. The mediators are implicated as candidate mediators of obesity-associated insulin resistance. Both TNFa and Leptin have been shown to have autocrine effects and impair insulin action also in adipocytes. Resistin, as well as TNFa and Leptin, released by adipocytes, act in peripheral tissue to decrease the sensitivity of insulin action. In contrast, circulating Adiponectin levels are positively correlated in the insulin sensitivity and negatively related to BMI, FFMI=Fat-Free Mass Index, and FMI=Fat Mass Index (Schultz et al 2002).

Taken together, several factors or mediators have been postulated to be responsible for the development of peripheral insulin resistance in obesity with the Metabolic Syndrome.

Based on the collection of many components of such a syndrome from many studies and reports, the author coins such a syndrome as The “Cumulative Metabolic Syndrome” (mentioned bellow). Metformin shows many potential therapeutic benefits for patients with the “Cumulative Metabolic Syndrome” as described on presentation, since this drug has pleiotropic properties (vasoprotective effects) beyond antihyperglycemic action.

The aim of this paper is to describe shortly about the link of Insulin Resistance and patients with Obesity, Pre-DM, T2DM and therapeutic option in the treatment of these patients. The promising roles of Metformin in the management of such patients will be also summarized.

OBESITY-LINKED INSULIN RESISTANCE

The Metabolic Syndrome-X or the “Cumulative Metabolic Syndrome” (the author’s term) is a cluster of metabolic components and cardiovascular risk factors which can be summarized as follows (Reaven 2001, Lebovitz 2001):


1. Insulin Resistance (with or without Glucose Intolerance)

2. Hyperinsulinemia (if no defect of pancreatic insulin secretion)

3. Abdominal (Visceral) Obesity

4. Raised Blood Pressure

5. Atherogenic Dyslipidemia

(­ TG, ­PP Lipemia, ¯HDL-C, ­ Apo-B, ­Small Dense LDL)

6. Procoagulant State

(­ Fibrinogen, ­PAI-1, ­ Factor VII, ­ vWF, ­ Adhesion Molecules)

7. Hyperuricemia

8. Endothelial Dysfunction (­AER, etc)

9. Inflammatory

(­hsCRP, ­Cytokines)


Insulin Resistance develops in both liver and peripheral tissues (fat and muscle) which will be used as a topic of discussion. Several mechanisms postulated to be implicated in the development of Insulin Resistance in Obesity have been summarized by Reaven (2001).

The enlarged fat cell oversecretes TNFa and Leptin in the local circulation.

TNFa impairs insulin action by inhibiting insulin receptor signaling, possibly by increasing IRS-1 serine phosphorylation (TNFa impairs Insulin Receptor Tyrosin Kinase = IRTK), and TNFa also impairs GLUT-4 expression.

Leptin released from visceral adipocytes may inhibit insulin action in the liver by impairing insulin receptor signaling, leading to reduced down-regulation of PEPCK, the rate limiting enzyme in gluconeogenesis. Both TNFa and Leptin have been shown to have autocrine effects and to impair insulin action (thus, also in adipocytes).

Resistin, as well as TNFa and Leptin, act in peripheral tissues to influence sensitivity to insulin and other cellular and metabolic process involved in the use and partitioning of substances (Steppan et al 2001,2002).

Based on clinical experiences, by the year 1997, Tjokroprawiro (2001) hypothesized the link between Insulin Resistance – Obesity – Pre-DM, and T2DM, and it was termed as Clinical Classification Staging of Insulin Resistance-Linked Obesity and T2DM (FIGURE-1).




The Classification of Insulin Resistance – Linked Obesity, Pre-DM and T2DM can be classified into 4 Stages; this classification has been already hypothesized by the author since 1997 and to be revised in the year 2001 (Tjokroprawiro 2001).

Grade -I: Normo insulin with Insulin Resistance

(Insulin Resistant, Normoinsulinemic Individuals: Obesity, Pre-DM)

In clinical practice, the Homeostasis Model Assessment = HOMA, has been suggested as method to assess Insulin Resistance (HOMA-R) and Insulin Secretion of pancreatic B-cell (HOMA-B) from the fasting glucose and insulin concentrations (Mathews et al 1985). However, this method has not been extensively evaluated, particularly in different ethnic group (FIGURE-2).




Patients with Stage-I (Obesity, Pre-DM) still have normal insulin blood level, whereas Insulin Resistance may be detected by Euglycemic Clamp or HOMA-R; Stage-I usually happens in patients with BMI ³ 30 kg /m2 or Visceral Obesity or Pre-DM.

Stage-II: Stage-IIA, IIB, and IIC (Insulin Resistant, Hyperinsulinemic Individuals)

- Stage-IIA : Hyperinsulinemia with normal Glucose

Tolerance, usually with BMI ³ 30 or Visceral Obesity, or Pre-DM

- Stage-IIB : Hyperinsulinemia plus Glucose Intolerance BMI ³ 30 or Visceral Obesity

- Stage-IIC : Hyperinsulinemia plus Type 2 Diabetes Mellitus and BMI ³ 30 or Visceral Obesity

Stage-III: Stage-IIIA and Stage-IIIB (Insulin Resistant, Normoinsulinemic Individuals)

- Stage-IIIA : Normoinsulinemia plus T2DM, and BMI is usually less than 30, Visceral Obesity is still present but less prominent

- Stage-IIIB : Low Normoinsulinemia plus Type-X1 DM. (Type 2-DM with poor response of b Cell to glucose stimulation, but fasting C-peptide is still > 0.8 mU/ml)

Type X1-DM (firstly coined by the author in 1991) is identical with Type 1½ -DM as coined by Zimmet in 1993

Stage-IV: Stage-IVA and Stage-IVB (Insulin Resistant, Hypoinsulinemic Individuals)

- Stage-IVA : Hypoinsulinemia ( fasting insulin <>mU/ml, normal : 6 – 27 mU/ml plus Type X2-DM ~ Type 1½-DM but fasting C-peptide become lower (0-6-0.8 mU/ml)

- Stage- IVB : Hypoinsulinemia plus Type X3-DM ~ LADA (as coined by Tuomi in 1993) and fasting C peptide <>mU/ml.

This patient (Type X3-DM) become totally insulin dependent but more resistant to ketoacidosis compared with Type 1-DM.

The investigation of Judajana in Surabaya by the year 1995 resulted that patients with HLA-DR3 and HLA-DR9 are prone to develop DM-Type X-3 (LADA), whereas those with HLA-DR5 do not.

METFORMIN AND POTENTIAL THERAPEUTIC BENEFITS

Results of many recent studies can be shortly summarized below (selected)

1. GLP-1 is a gastrointestinal hormone which stimulates insulin secretion and promote satiety. GLP-1 and drugs that inhibit its degradation, such as Dipeptidyl-Peptidase IV (DPP-IV)-Inhibitors, have been proposed as therapeutic tools for T2DM and Obesity (Mannucci et al 2000). In this study, Metformin is able to inhibit in vitro GLP-1 degradation by human plasma and by inhibiting DPP-IV. GLP-1 is also able to delay gastric emptying process. These actions could provide an explanation for the observed anorectic effects of Metformin, and may contribute to its hypoglycemic properties (due to GLP-1 effect as “indirect” insulin secretagogue).

2. Ruggiero – Lopez at al (2000) reported that Metformin reduced Methylglyoxal levels (Carbonyl Compound) by formation of a stalk condensation product (Triazepinone). Thus, Metformin appeared to act as an extracellular scavenger of Methylglyoxal independent of its anti hyperglycemic effect, and could thereby contribute to the prevention of chronic diabetic complications by reduction of carbonyl stress (AGE generation will be inhibited).

3. Patane et al (2000) cultured rat pancreatic islets with either high glucose or FFA concentration, and then for additional 24 hours in the presence or absence of Metformin. The results indicated that Metformin could reverse both glucose abnormalities and glucose-induced insulin release impairment consequent to islet exposure to either high glucose or FFA. These effects may contribute to the therapeutic benefits of Metformin in T2DM patients.

4. Previously it was demonstrated that Metformin increased erythrocyte insulin -stimulated IRTK (Insulin Receptor Tyrosine Kinase) activity of obese patient with normal glucose tolerance, but this increase was associated to a decrease in plasma insulin concentrations.

Nomizo et al (2000) investigated the effect of Metformin “in vitro” in the insulin receptor of NIH 3T3 Cells. The cells were maintained in Metformin supplemented with 10% FCS, and they were grown to influence in 94 mm dishes and starved in a serum free medium supplemented with 1mM glucose for 12 hours. The results showed that Metformin increased insulin – stimulated IRTK, but did not have an effect on the endogenous IRTK of receptor from NIH 3T3 Cells, after 6 and 12 hours incubation. These Metformin’s properties on IRTK may contribute to a potential therapeutic effect on Obese Diabetic patients.

Based on the results of many studies (provided with previous data), Tjokroprawiro (2002) summarized 21 (9-3-9) possible potential therapeutic properties (Pleiotropic Effects) of Metformin which can be classified into 3 groups


I. Carbohydrate Metabolism (9 Effects)

1. Decreased Intestinal Glucose Absorption

2. Decreased Fasting Blood Glucose

3. Decreased 2 h Post Prandial Blood Glucose

4. Increased Glycogenesis

5. Increased Insulin Receptor Binding

6. Increased GLUT-5 Expression in the GLUT

7. Increased Insulin-Receptor Tyrosine Kinase Activity = IRTK.

8. Inhibited GLP-1 degradation by DPP-IV and promoted satiety

9. Prevented b-cell from Gluco-or Lipotoxicity Effect

II. Lipid (3 Effects)

1. Decreased Total Cholesterol and LDL-Cholesterol

2. Decreased Triglyceride

3. Increased HDL- Cholesterol


III. Vasoprotective Effects (9Effects)

1. Decreased Insulin Levels (Increased Sensitivity)

2. Decreased Platelet Aggregation

3. Improved Erythrocyte Deformability

4. Increased Fibrinolysis (↓ PAI-1, ↓ F XIIIa, ↓ Fibrinogen)

5. Increased Peripheral Blood Flow

6. Decreased Capillary Permeability

7. Decreased Carbonyl Stress

8. Decreased SMC-Fibroblast Activity

9. Decreased Retinal Neovascularisation

The link of Obesity and Diabetes Mellitus may be schematically drown (FIGURE 3)


Figure 3: Hypothetical Pathway of Obesity Linked Diabetes Mellitus

(Summarized: Tjokroprawiro 2002)

INSULIN RESISTANCE AND IMPAIRED AIR IN T2DM

Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) is a heterogenous disorder characterized by impaired of Acute Insulin Response (AIR) or Acute Phase of Insulin Secretion of b-Cell and Insulin Resistance (IR) of peripheral tissues. In clinical practice, the Homeostasis Model Assessment (HOMA), has been suggested as a method to assess IR (HOMA-R) and to assess insulin secretion of b-Cell (HOMA-B) from fasting Glucose and Insulin Concentration (Mathews et al 1985). However, this method has not been extensively evaluated, particularly in different ethnic group.


Agents that enhance Ser/Thr phosphorilation of IRS proteins or other downstream effectors of the insulin signaling cascade play negative-regulatory roles in insulin action. Ser/Thr phosphorylation impairs insulin-stimulated Tyr phosphorylation of IRS proteins, uncouples insulin signal transduction, and has been implicated in the development of IR.

Ser/Thr phosphate inhibitors such as Okaidic Acid, PDGF, Insulin or Angiotensin II, and PKC-Activators, and TNF-Activators, and other Cytokines, increase Ser/Thr Phorphorylation of IRS-1.

Further Information: Ser/Thr phosphorylation of the IRS molecules induces IR. Ser/Thr phosphorylation of IRS proteins may serve as physiological negative feedback control mechanism or may result in IR. TNF-a expression is increased in abdominal fat obesity. Decreased Tyr phosphorylation of IRS proteins and reduction in their associated PI3-K activity is observed in skeletal muscle and adipocytes both in Obesity and T2DM. Glucotoxicity and Lipotoxicity should be taken into consideration when clinicians treat T2DM patients with prolonged hyperglycemia. Glucotoxicity refers to an acquired reduction in insulin secretion caused by prolonged hyperglycemia, and improved metabolic control, however, will be achieved by Diet, Insulin therapy, Sulfonylureas, or Metformin which lead to an increase in insulin secretion.

As expressed in Lipotoxicity Hypothesis, FFAS not only seem to interfere with insulin action but also with insulin secretion. FFAS have been shown acutely to enhance glucose-stimulated insulin secretion, whereas chronically elevated FFAS to inhibit insulin secretion. It has been suggested that alterations in expression of metabolic enzymes by FFAS may account for Beta Cell insensitivity to glucose or for alterations in insulin secretion.

CONCLUSIONS

Evidence has accumulated that the Insulin Resistance – Metabolic Syndrome, or the “Cumulative Metabolic Syndrome” in Obesity is also associated with alterations in haemostatic variables which contribute to increase the risk of atherothrombotic events in these patients. All these components of the “Cumulative Metabolic Syndrome” have been summarized on the previous page.

There is a link between Obesity, Pre DM and T2DM which may be initiated from the Fat Cells (Low IRS-1 and Impaired GLUT-4 expression), and then secondary Insulin Resistance and Impaired Insulin Secretion of the b-Cells of pancreas will be promoting the manifestation of Diabetes Mellitus. Pleiotropic properties of Metformin beyond blood glucose lowering (antihyperglycemic and also hypoglycemic effect via decreased GLP-1 degradation by DPP-IV) may contribute several possible potential therapeutic benefits in the treatment of patients with Insulin Resistance

journal kedokteran GRATIS ?

kebanyakan journal kedokteran harus langganan dan bayar tetapi biasanya artikel punya masa bayar, artinya kalau masanya sudah lewat bisa dibaca gratis yang cari aja di google, yang penting keyword harus spesifik?